"Durasi Puasa di Negara yang siangnya berkepanjangan"
Nama : Shelila
Kelas : HES 7D
Nim : 1708202002
Baik dalam ketentuan al-Quran maupuan Hadits, batas mulai berpuasa adalah terbit fajar dan berakhir pada terbenam matahari. Ini juga ijma seluruh ulama. Saat ini, muncul beberapa pandangan yang berubah dan berbeda, khusus untuk memenuhi konteks bagi orang-orang yang tinggal di negara-negara yang siangnya panjang. Mengenai hal ini, terdapat dua pendapat:
1. Masih tetap dengan pandangan fiqih klasik dan mengikuti gerakan matahari, berapapun jamnya. Akan tetapi tidak mampu boleh tidak puasa, dan nanti di Kodo di ganti puasanya
2. Mencari durasi yang bulannya rata dengan terbit dan terbenamnya matahari. Misalnya mei sampe Juli karena durasinya stabil.
3. Harus melakukan perkiraan hari, malam, dan bulan mereka dengan perhitungan waktu yang berlaku di negara yang dekat dengan negara mereka. Negara tersebut memiliki keseimbangan waktu, antara siang dan malamnya memiliki kelapangan waktu, karena Allah telah mewajibkan shalat dan puasa.
4. Sebagian berpendapat bahwa mereka hanya perlu memperkirakan waktunya berdasarkan pada negara yang syari’at diturunkan padanya, yaitu Makkah atau Madinah. Karena yang demikian itu lebih mudah bagi mereka, khususnya karena mereka menghadapkan diri ke Ka’bah dalam shalat mereka pada setiap harinya.
Menurut blog yang saya baca para ulama memiliki argumentasi dan pendapat yang berbeda, didalam Tafsiir al-Manaar dikatakan, “Mereka berbeda pendapat mengenai perkiraan waktu, negara mana yang harus dijadikan patokan. Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi patokan adalah negara yang padanya diturunkan syari’at, yaitu Makkah atau Madinah. Ada juga yang berpendapat harus didasarkan pada perhitungan waktu yang berlaku di negara yang paling dekat. Kedua pendapat tersebut dibolehkan, karena keduanya merupakan ijtihad, dan tidak ada nash secara pasti mengenai hal tersebut. Dan pendapat kedua, sebagian ulama mengatakan bahwa jika di negara tersebut terdapat waktu siang dan malam, maka mereka wajib berpuasa meskipun waktu siangnya sangat panjang dan waktu malam sangatlah pendek, atau sebaliknya. Barangsiapa di antara mereka yang tidak mampu berpuasa, maka dia boleh tidak berpuasa, tetapi dia harus mengqadha’nya, padanya berlaku hukum seperti hukum puasa pada orang sakit yang berhalangan puasa.
Menurut saya, memilih pandangan yang ketiga, yakni " merujuk pada durasi siang dan malam di negara yang terdekat yang lebih stabil", mengapa karena negara yang di dalamnya terdapat waktu malam atau siang sebagai waktu puasa, maka penduduknya harus menjalankannya, baik waktu siang itu panjang maupun pendek. Seperti dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 187, antara lain :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakan-lah puasa itu sampai malam…” [al-Baqarah/2:187]
Dengan demikian, selama masih ada waktu siang dan malam, maka mereka wajib mengerjakan puasa. Bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya, maka dia boleh tidak berpuasa karena alasan tertentu, dan dia harus meng-qadha’nya. Sedangkan di negara yang di dalamnya tidak terdapat waktu malam atau siang sebagai waktu puasa, seperti negara-negara kutub, maka mereka bisa memperkirakan waktu mereka sesuai dengan negara yang paling dekat dengan negara mereka. Selain itu, mereka juga harus memiliki perkiraan waktu untuk beberapa aktivitas kehidupan mereka sehari-hari.
Seperti yang dijelaskan oleh Imam Jalaluddin dalam kitab nya Al-Hawi jilid 1 yakni yang pertama tetap melaksanakan kewajiban seperti biasa atau dikira-kirakan dengan negara di sekitar.
Jadi kesimpulannya tetap melaksanakan puasa meskipun waktu siang itu berlangsung lama dengan merujuk pada durasi siang dan malam di Negara-negara terdekat yang lebih stabil.
Saya memandang ijtihad baru dalam hal ini yaitu merupakan usaha yang baik untuk mengatasi beberapa masalah yang ada di Negara-negaea tertentu, tapi tidak semua ijtihad bisa di gunakan. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Comments
Post a Comment