Shalat Sunnah Pada Zaman Nabi

Nama Dadi Kurniadi

Nim 1708202112

Masail Fiqhiyah 7D

الْقِبْلَةَ اسْتَقْبَلل كْتُوبَةَ نَزَالْمَفَ يُصَلِّيَ أَنْ أَرَادَ فَإِذَا الْمَشْرِقِ نَحْوَ لَتِهِ رَاحِعَلَى يُصَلِّي كَانَ النَّبِيَّ أَنَّ اللَّهِ عَبْدِ بْنِ جَابِرِ عَنْ.   (1)


Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

Para Shahabat Shalat di Kapal Laut

Sebuah hadits menceritakan bagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat di atas perahu atau kapal laut, ketika menuju ke negeri Habasyah.

“Bahwa Nabi SAW ketika mengutus Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam”. (HR. Al-Haitsami dan Al-Bazzar)

Sebatas Shalat Sunnah Memang kalau kita perhatikan teks-teks hadits tersebut, kita akan dapati bahwa shalat yang dilakukan Rasulullah SAW di atas punggung unta hanya sebatas shalat sunnah saja. Sedangkan untuk shalat fardhu yang lima waktu, beliau tidak pernah melakukannya.Jadi kalau bertemu dengan waktu shalat lima waktu, sementara beliau sedang berada di punggung untanya, maka beliau menghentikan unta itu, lalu turun ke atas tanah. Dan beliau shalat dengan menghadap arah kiblat yang benar..Oleh karena itulah semua ulama sepakat bahwa shalat fardhu tidak sah bila dilakukan di atas punggung unta. Sebab Nabi yang yang pernah bersabda,"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat Aku shalat", justru tidak melakukan shalat di atas punggung unta. Beliau SAW justru turun ke atas tanah.Apa maksudnya? Kalau beliau turun dari punggung unta dan shalat di atas tanah, apa maksudnya?Maksudnya tidak lain agar beliau bisa shalat dengan menghadap kiblat, sebagaimana disebutkan di dalam teks-teks hadits di atas. Selain itu tentu saja kalau shalat di atas tanah, beliau SAW juga bisa shalat dengan benar yaitu dengan berdiri, rukuk, sujud yang sempurna. Bukan cuma dengan membungkuk-bungkukkan badan.

Bila Tidak Mungkin Turun Ada beberapa jenis kendaraan, ada yang kita bisa hentikan sesuai    kehendak kita, ada juga yang tidak bisa.

a. Kendaraan Pribadi : Turun dan Shalat

Kalau kita naik kendaraan pribadi, tentu tidak ada alasan untuk tidak berhenti mengerjakan shalat. Kadang kendaraan umum sekali pun bisa kita ajak kompromi agar berhenti sejenak demi kita bisa mengerjakan shalat.Selama masih bisa berhenti dan turun untuk shalat, maka tidak ada masalah karena shalat bisa dikerjakan dengan sempurna.

b. Pesawat, Kereta dan Kapal Laut : Dimungkinkan Shalat di Atas Kendaraan

Namun kenyataannya banyak jenis kendaraan yang musahil bagi kita untuk turun sejenak untuk mengerjakan shalat fardhu.Pesawat terbang, kapal laut dan kereta api adalah kendaraan yang sangat mungkin untuk kita mengerjakan shalat dengan sempurna di dalamnya, yaitu dengan berwudhu, menghadap kiblat, berdiri, rukuk dan sujud. Maka shalat kita sudah sah bila memang bisa memenuhi semua syarat itu.

c. Bus Antar Kota : TIdak Mungkin Shalat

Lain halnya dengan bus antar kota, kita agak sulit kalau tidak berkompromi dengan sopirnya untuk berhenti mengerjakan shalat. Sebab di dalam bus agak sulit kita shalat sambil berdiri, ruku dan sujud dengan sempurna. Begitu juga agak kesulitan kalau harus menghadap kiblat dan adapun jika terlambatdan terdesak macet bisa menjama solat sebelumnya

2. Syaikh Muhammad bin Ibrahim, mengatakan, “Telah ditetapkan bahwa orang-orang itu memiliki waktu malam yang normal dan waktu siang yang normal pula. Oleh karena itu, jika matahari telah terbenam maka mereka boleh berbuka dan meneruskan waktu buka mereka itu sampai sinar matahari mulai bertambah terang, yaitu waktu fajar dan diperkenankan bagi mereka untuk memakai pendingin ruangan (AC). Jika ada seseorang yang tidak mampu menjalankannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha’nya. fatwa ini seperti halnya dengan orang-orang selain mereka dari kalangan orang-orang yang memiliki keadaan darurat. Orang-orang yang mempunyai waktu (malam) yang singkat sejak matahari terbenam dari mereka, maka mereka tetap wajib berpuasa dengan melihat negara yang terdekat dengan mereka

. Menurut pandangan saya berbuka puasa mengikuti durasi jam waktu negara² terdekat yang stabil pada saat itu. Pada hadits Muslim yang mana pada hari sebelum kiamat, kata Nabi akan ada 40 hari dimana 1 hari itu seperti setahun, 1 hari seperti sebulan, 1 hari seperti seminggu. Kemudian para sahabat bertanya lalu bagaimana sholat dan puasa yang sehari itu? apakah hanya 5 kali atau bagaimana?Dan Nabi menjawab tidak, tidak sehari selama setahun itu hanya 5 kali sholat tapi kamu memperkirakan dalam setahun ada berapa hari dan seharinya tetap 5 kali (sholat). Imam Suyuthi dan imam Zarkasyi kemudian berpendapat “agar melakukan shalat dan puasa dengan mengikuti waktu negara terdekat yang memiliki durasi siang dan malam yang stabil”

Ketentuan puasa terdapat pada  surat Al-baqarah ayat 185: 

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah: 185) 

Jadi dalam ayat terserbut sudah jelas bahwa Allah tidak menyusahkan kita dengan puasa. Jika kita mengalami kesusahan maka tidak boleh puasa bisa diganti qodho atau membayar fidyah disamping itu pada dasarnya ketika berpuasa pada waktu siangnya yang sangat panjang seperti Kota Tromso dirasa sulit, dan pada saat itu kita mencari solusi kemudahannya. Yang mana menurut saya perkiraan tersebut bisa mengikuti durasi jam waktu negara-negara terdekat

3. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah, nusyuz adalah perselisihan di antara suami isteri. Sementara itu ulama Hanabilahmendefinisikanya dengan ketidaksenangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis. Sebagaimana yang tersirat di dalam al-Qur'an Qs. An-Nisa ayat 128 bahwa nusyuz tidak hanya dialami atau dilakukan oleh istri tetapi dapat juga dilakukan oleh suami. Selama ini yang selalu diangkat kepermukaan adalah nusyuz istri.Nusyuz suami dan istri berbeda Nusyuz istri terhadap suami, Pemukulan yang dilakukan bersifat tidak meninggalkanbekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidakmengakibatkan luka karena yang dimaksud dari pemukulan iniadalah memperbaiki, bukan yang lain. Bagi suami untuk memukuldengan pukulan yang halus tanpa menyakiti. Nusyuz suami terhadap istri Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakankewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajibanyang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajibanyang bersifat nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau\menggauli istrinya dengan baik

Terkait dengan ayat tersebut Annisa ayat 34 , Tafsir al-Jalalain menerangkan bahwa para laki-laki adalah pemimpin yaitu yang menguasai para perempuan, memberikan pelajaran dan melindunginya, karena apa yang telah dilebihkan oleh Allah kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain, seperti kelebihan dalam hal ilmu, akal, perwalian, dan sebagainya, dan harta yang mereka (laki-laki) nafkahkan kepada mereka. Selanjutnya, dijelaskan bahwa perempuan-perempuan yang shalih adalah yang taat kepada suaminya, menjaga diri dan kehormatannya ketika suami tidak ada, karena Allah telah menjaganya dengan cara mewasiatkannya kepada suaminya. Adapun bagi perempuan-perempuan yang dikhawatirkan akan berbuat nusyuz yaitu maksiat kepada suami dengan membangkang perintah-perintahnya, maka nasehatilah mereka agar mereka takut kepada Allah, dan pisahlah tempat tidur yakni pindahkah ke tempat tidur lain jika mereka masih berbuat nusyuz, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai jika dengan pisah tempat tidur mereka belum kembali berbuat baik. Jika mereka telah kembali melakukan apa yang suami perintahkan, maka janganlah mencari-cari cara untuk memukulnya untuk berbuat aniaya

Solusi dalam menangani masalah nusyuz istri, Muhammad Ali Shabuni dalam Safwah Al Tafasir memberikan solusi untuk kebaikan tatanan rumah tangga melalui tahapan-tahapan: Pertama, memberikan nasehat yang baik pada istri. Dengan cara mengingatkan bahwa perbuatannya tidak disenangi oleh Allah dan akan mendapatkan siksaan dari-Nya; Kedua, meninggalkan dari tempat tidur dan tidak berbicara serta tidak mendekatinya dalam arti masih satu ranjang, namun membelakanginya, dan; Ketiga, memukul dengan pukulan yang tidak membekas pada kepala, wajah dan atau anggota tubuh lainnya

Comments